Pelecehan seksual
sesama jenis dan perundungan diduga terjadi di Kantor KPI pusat. Kasus ini
melibatkan satu pegawai dan tujuh pelaku yang bekerja di kantor yang sama.
Sebuah pesan berantai diterima sejumlah media melalui
aplikasi pesan WhatsApp. Pesan itu memuat tulisan tentang dugaan pelecehan
seksual sesama jenis dan perundungan yang terjadi di KPI Pusat. Pesan itu
bahkan memuat banyak pernyataan korban tentang apa yang dialaminya selama
bertahun-tahun bekerja sebagai pegawai KPI Pusat.
Berdasarkan berita yang beredar, kasus ini sudah berjalan
sejak 2012. Pegawai berinisial MS sering menjadi korban perundungan atau
bullying yang dilakukan sesama pegawai KPI Pusat. Mulai dari kerap disuruh
membelikan makanan, diceburkan ke kolam, tasnya dilempar, hingga yang paling
parah adalah ditelanjangi, difoto, dan alat kelaminnya dicoret menggunakan
spidol.
Tepatnya pelecehan seksual mulai terjadi sekitar 2015. Suatu
kali, menurut MS, pelaku perundungan dan pelecehan pernah memegangi kepala,
tangan, kaki, dan menelanjangi korban. Di saat itulah pelaku juga mencoret alat
kelaminnya dengan spidol. Rangkaian kejadian perundungan dan pelecehan seksual
yang terjadi di tempat ia bekerja ini membuat MS mengalami trauma dan
membuatnya berobat ke psikiater. Namun, kejadian ini terus berulang dan belum
selesai.
“Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan
emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat?” tulis MS
dalam pesan WhatsApp.
MS juga mengaku bahwa ia kerap berteriak di tengah malam
karena trauma. Ia juga merasa tak lagi memiliki harga diri sebagai seorang
pria, suami, dan kepala rumah tangga. Trauma ini juga menyebabkan MS mengalami
penurunan fungsi tubuh berupa hipersekresi lambung karena trauma.
Korban sudah melapor,
tapi responsnya tidak memuaskan.
Atas kejadian yang menimpa dirinya, MS sebenarnya telah
melaporkan kejadian ini kepada Komnas HAM. Pihak Komnas HAM juga telah
mengonfirmasi laporan korban dan menggolongkan perkara ini ke dalam kejahatan
dan tindak pidana. Pada 2019, korban melaporkan perkara ini ke polisi.
Sayangnya polisi menyarankan korban untuk menyelesaikan perkara ini dengan
atasannya di KPI Pusat.
Setelah melapor, atasannya memindahkan MS ke ruangan lain
untuk menghindari perundungan agar tidak terjadi lagi. Sayangnya, aduannya
kepada atasan sempat bocor dan diketahui pelaku. Pelaku kembali merundung
korban dengan mengatainya “manusia lemah” dan “pengadu”. Tas MS juga pernah
dilempar, dan kursinya ditulisi “bangku ini tidak ada orangnya”. Hal ini
terjadi selama bertahun-tahun dan diketahui oleh pegawai lain, namun respons
orang-orang cenderung dingin karena mereka tidak kaget menyaksikan perundungan
ini.
Bagi MS, berhenti sebagai pegawai KPI Pusat juga bukan
solusi. Korban bukanlah orang yang harus pergi dan meninggalkan pekerjaan
akibat rundungan yang diterimanya. Sebaliknya, seharusnya para perundunglah
yang harus menerima konsekuensi secara profesional atas perbuatannya.
Bukan pertama kalinya
KPI terlibat kontroversi.
Kejadian pelecehan dan perundungan yang melibatkan pegawai
KPI Pusat membuat banyak netizen geram. Lembaga yang kerap membuat pernyataan
kontroversial dan membingungkan ini justru kembali muncul dengan kisah buruk
yang semakin menegaskan bahwa ada yang tidak beres disana. Sebelumnya, KPI
terkenal dengan aturan penyensoran siaran yang ketat dan tidak masuk akal.
Aturan seperti menyensor belahan dada pada serial animasi dan atlet dianggap
kontras dengan absennya KPI Pusat untuk menindak kisah-kisah sinetron yang
tidak masuk akal yang seharusnya dianggap merusak nalar penonton. Bahkan banyak
masyarakat yang protes soal penertiban dan sanksi yang tidak diberikan terhadap
penayangan pernikahan artis yang berlebihan.
Kasus ini juga sempat memunculkan dialog antara pegawai KPI
Pusat dengan beberapa kreator konten Indonesia mengenai aturan penyensoran.
Sayangnya, hasil dari dialog yang disiarkan langsung di televisi ini juga hanya
melahirkan meme dan prasangka publik lainnya. Banyak pernyataan pegawai KPI Pusat
yang dianggap tidak relevan.
Tidak hanya itu, kebijakan-kebijakan kontroversi lainnya
seperti ngotot mengawasi Netflix dan YouTube, melarang karakter pria yang
bergaya seperti wanita di televisi, hingga menganggap tubuh perempuan adalah
sumber masalah moral. Tidak heran jika kemarahan masyarakat semakin terpicu
akibat munculnya kasus perundungan dan pelecehan seksual. Nama dan kontak
pelaku bahkan sempat tersebar di media sosial dan netizen ramai-ramai merisak
balik pelaku.
KPI Pusat menanggapi.
Setelah kasus ini terkuak di media dan menjadi ramai, pihak
KPI Pusat mengatakan bahwa lembaga mereka tidak menoleransi tindakan pelecehan
seksual dan perundungan. Pihak mereka berjanji akan melakukan investigasi
internal dan menindak para pelaku sesuai aturan yang berlaku jika memang mereka
terbukti bersalah. Korban juga dikabarkan akan mendapatkan perlindungan,
pendampingan hukum, dan pemulihan secara psikis.
Derita korban
perundungan dan pelecehan seksual di KPI. Sudah laporannya “dicuekin” sejak
lama, sekarang mau digugat balik pakai UU ITE. Sudah speak up, malah mau
dipaksa give up.
“Yang terjadi cyber bullying baik kepada klien kami, maupun
keluarga dan anak. Itu sudah keterlaluan menurut kami. Kami berpikir dan akan
menimbang secara serius untuk melakukan pelaporan balik terhadap si pelapor,”
kata Tegar Putuhena, kuasa hukum terduga pelaku pelecehan di KPI yang
berinisial RT dan EO.
“Semua unsur-unsur pidana akan kami pelajari, misalnya
pertama membuka identitas pribadi secara tanpa hak, itu sudah melanggar UU ITE.
Kemudian dari situ disebarluaskan, terjadi ‘cyber bullying‘ terhadap keluarga,
foto keluarga disebarkan itu juga akan kita pertimbangkan,” tegas Tegar.
Sementara itu, kelima terduga pelaku pelecehan seksual di
KPI adalah RM alias O, FP, RE, RT, EO, dan CL. Kelimanya menjalani pemeriksaan
di ruang unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Pusat,
Kemayoran, sejak Senin (06/09) pukul 11.00 WIB.
Ada 20 pertanyaan yang diajukan penyidik kepada para terduga
pelaku pelecehan untuk mendalami kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual
di KPI pada 2015 silam. Seiring berjalannya waktu, kelima terduga pelaku akan
melaporkan balik MS, korban pelecehan seksual, dengan UU ITE. Kelimanya merasa
sudah dirugikan dan namanya tercemar. Selain itu, kelima terduga pelaku
pelecehan seksual merasa bukti-bukti yang memberatkan mereka masih terlalu
minim.
“Intinya polisi mendalami kejadian di tahun 2015 dan sejauh
ini yang kami menemukan tidak ada peristiwa itu. Peristiwa di tahun 2015 yang
dituduhkan dan sudah viral tidak ada, tidak didukung bukti apa pun,” kata Tegar
lagi. Oleh sebab itu, MS yang melaporkan dugaan pelecehan seksual, akan digugat
balik menggunakan UU ITE.
Sementara itu, Komnas HAM siap turun tangan secara langsung
untuk menyelidiki kasus perundungan dan pelecehan seksual terhadap MS. Diduga,
ada pembiaran dari pihak KPI maupun kepolisian. Hingga kemudian MS akan digugat
balik menggunakan UU ITE.
“Karena kami melihat ada dugaan pembiaran dan korban tidak
ditangani dengan baik,” tegas Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM,
seperti dikutip voi.id.