Senin, 27 September 2021

Pelecehan dan Perundungan Terjadi di KPI Pusat. Lembaga Moral kok Darurat Moral

Pelecehan seksual sesama jenis dan perundungan diduga terjadi di Kantor KPI pusat. Kasus ini melibatkan satu pegawai dan tujuh pelaku yang bekerja di kantor yang sama.

Sebuah pesan berantai diterima sejumlah media melalui aplikasi pesan WhatsApp. Pesan itu memuat tulisan tentang dugaan pelecehan seksual sesama jenis dan perundungan yang terjadi di KPI Pusat. Pesan itu bahkan memuat banyak pernyataan korban tentang apa yang dialaminya selama bertahun-tahun bekerja sebagai pegawai KPI Pusat.

Berdasarkan berita yang beredar, kasus ini sudah berjalan sejak 2012. Pegawai berinisial MS sering menjadi korban perundungan atau bullying yang dilakukan sesama pegawai KPI Pusat. Mulai dari kerap disuruh membelikan makanan, diceburkan ke kolam, tasnya dilempar, hingga yang paling parah adalah ditelanjangi, difoto, dan alat kelaminnya dicoret menggunakan spidol.

Tepatnya pelecehan seksual mulai terjadi sekitar 2015. Suatu kali, menurut MS, pelaku perundungan dan pelecehan pernah memegangi kepala, tangan, kaki, dan menelanjangi korban. Di saat itulah pelaku juga mencoret alat kelaminnya dengan spidol. Rangkaian kejadian perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di tempat ia bekerja ini membuat MS mengalami trauma dan membuatnya berobat ke psikiater. Namun, kejadian ini terus berulang dan belum selesai.

“Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat?” tulis MS dalam pesan WhatsApp.

MS juga mengaku bahwa ia kerap berteriak di tengah malam karena trauma. Ia juga merasa tak lagi memiliki harga diri sebagai seorang pria, suami, dan kepala rumah tangga. Trauma ini juga menyebabkan MS mengalami penurunan fungsi tubuh berupa hipersekresi lambung karena trauma.

 

Korban sudah melapor, tapi responsnya tidak memuaskan.

Atas kejadian yang menimpa dirinya, MS sebenarnya telah melaporkan kejadian ini kepada Komnas HAM. Pihak Komnas HAM juga telah mengonfirmasi laporan korban dan menggolongkan perkara ini ke dalam kejahatan dan tindak pidana. Pada 2019, korban melaporkan perkara ini ke polisi. Sayangnya polisi menyarankan korban untuk menyelesaikan perkara ini dengan atasannya di KPI Pusat.

Setelah melapor, atasannya memindahkan MS ke ruangan lain untuk menghindari perundungan agar tidak terjadi lagi. Sayangnya, aduannya kepada atasan sempat bocor dan diketahui pelaku. Pelaku kembali merundung korban dengan mengatainya “manusia lemah” dan “pengadu”. Tas MS juga pernah dilempar, dan kursinya ditulisi “bangku ini tidak ada orangnya”. Hal ini terjadi selama bertahun-tahun dan diketahui oleh pegawai lain, namun respons orang-orang cenderung dingin karena mereka tidak kaget menyaksikan perundungan ini.

Bagi MS, berhenti sebagai pegawai KPI Pusat juga bukan solusi. Korban bukanlah orang yang harus pergi dan meninggalkan pekerjaan akibat rundungan yang diterimanya. Sebaliknya, seharusnya para perundunglah yang harus menerima konsekuensi secara profesional atas perbuatannya.

 

Bukan pertama kalinya KPI terlibat kontroversi.

Kejadian pelecehan dan perundungan yang melibatkan pegawai KPI Pusat membuat banyak netizen geram. Lembaga yang kerap membuat pernyataan kontroversial dan membingungkan ini justru kembali muncul dengan kisah buruk yang semakin menegaskan bahwa ada yang tidak beres disana. Sebelumnya, KPI terkenal dengan aturan penyensoran siaran yang ketat dan tidak masuk akal. Aturan seperti menyensor belahan dada pada serial animasi dan atlet dianggap kontras dengan absennya KPI Pusat untuk menindak kisah-kisah sinetron yang tidak masuk akal yang seharusnya dianggap merusak nalar penonton. Bahkan banyak masyarakat yang protes soal penertiban dan sanksi yang tidak diberikan terhadap penayangan pernikahan artis yang berlebihan.

Kasus ini juga sempat memunculkan dialog antara pegawai KPI Pusat dengan beberapa kreator konten Indonesia mengenai aturan penyensoran. Sayangnya, hasil dari dialog yang disiarkan langsung di televisi ini juga hanya melahirkan meme dan prasangka publik lainnya. Banyak pernyataan pegawai KPI Pusat yang dianggap tidak relevan.

Tidak hanya itu, kebijakan-kebijakan kontroversi lainnya seperti ngotot mengawasi Netflix dan YouTube, melarang karakter pria yang bergaya seperti wanita di televisi, hingga menganggap tubuh perempuan adalah sumber masalah moral. Tidak heran jika kemarahan masyarakat semakin terpicu akibat munculnya kasus perundungan dan pelecehan seksual. Nama dan kontak pelaku bahkan sempat tersebar di media sosial dan netizen ramai-ramai merisak balik pelaku.

 

KPI Pusat menanggapi.

Setelah kasus ini terkuak di media dan menjadi ramai, pihak KPI Pusat mengatakan bahwa lembaga mereka tidak menoleransi tindakan pelecehan seksual dan perundungan. Pihak mereka berjanji akan melakukan investigasi internal dan menindak para pelaku sesuai aturan yang berlaku jika memang mereka terbukti bersalah. Korban juga dikabarkan akan mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, dan pemulihan secara psikis.

Derita korban perundungan dan pelecehan seksual di KPI. Sudah laporannya “dicuekin” sejak lama, sekarang mau digugat balik pakai UU ITE. Sudah speak up, malah mau dipaksa give up.

“Yang terjadi cyber bullying baik kepada klien kami, maupun keluarga dan anak. Itu sudah keterlaluan menurut kami. Kami berpikir dan akan menimbang secara serius untuk melakukan pelaporan balik terhadap si pelapor,” kata Tegar Putuhena, kuasa hukum terduga pelaku pelecehan di KPI yang berinisial RT dan EO.

“Semua unsur-unsur pidana akan kami pelajari, misalnya pertama membuka identitas pribadi secara tanpa hak, itu sudah melanggar UU ITE. Kemudian dari situ disebarluaskan, terjadi ‘cyber bullying‘ terhadap keluarga, foto keluarga disebarkan itu juga akan kita pertimbangkan,” tegas Tegar.

Sementara itu, kelima terduga pelaku pelecehan seksual di KPI adalah RM alias O, FP, RE, RT, EO, dan CL. Kelimanya menjalani pemeriksaan di ruang unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Pusat, Kemayoran, sejak Senin (06/09) pukul 11.00 WIB.

Ada 20 pertanyaan yang diajukan penyidik kepada para terduga pelaku pelecehan untuk mendalami kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual di KPI pada 2015 silam. Seiring berjalannya waktu, kelima terduga pelaku akan melaporkan balik MS, korban pelecehan seksual, dengan UU ITE. Kelimanya merasa sudah dirugikan dan namanya tercemar. Selain itu, kelima terduga pelaku pelecehan seksual merasa bukti-bukti yang memberatkan mereka masih terlalu minim.

“Intinya polisi mendalami kejadian di tahun 2015 dan sejauh ini yang kami menemukan tidak ada peristiwa itu. Peristiwa di tahun 2015 yang dituduhkan dan sudah viral tidak ada, tidak didukung bukti apa pun,” kata Tegar lagi. Oleh sebab itu, MS yang melaporkan dugaan pelecehan seksual, akan digugat balik menggunakan UU ITE.

Sementara itu, Komnas HAM siap turun tangan secara langsung untuk menyelidiki kasus perundungan dan pelecehan seksual terhadap MS. Diduga, ada pembiaran dari pihak KPI maupun kepolisian. Hingga kemudian MS akan digugat balik menggunakan UU ITE.

“Karena kami melihat ada dugaan pembiaran dan korban tidak ditangani dengan baik,” tegas Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM, seperti dikutip voi.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar